Halo semua! Dalam artikel ini, kita akan membahas sejarah shalat Tarawih 8 dan 20 rakaat. Shalat Tarawih merupakan salah satu ibadah yang dilakukan oleh umat Muslim pada bulan Ramadan. Jadi, mari kita lihat bagaimana shalat Tarawih dengan 8 dan 20 rakaat ini menjadi praktik yang umum dilakukan saat ini.
1. Awal Munculnya Shalat Tarawih
Shalat Tarawih pertama kali muncul pada masa Khulafaur Rasyidin, tepatnya pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Pada awalnya, shalat Tarawih dilakukan secara berjemaah dalam Masjid Nabawi, Madinah.
Pada masa itu, para sahabat mengamalkan sunnah Rasulullah SAW dengan melaksanakan shalat malam di bulan Ramadan. Namun, pelaksanaannya belum dikonsolidasikan menjadi shalat Tarawih yang memiliki jumlah rakaat tertentu.
Umar bin Khattab kemudian menyaksikan sahabat Abu Bakar melakukan shalat Tarawih secara berjemaah. Setelah melihat hal tersebut, Umar berpikir untuk mengumpulkan para sahabat agar mereka dapat melaksanakan shalat Tarawih secara bersama-sama.
Maka, pada masa kepemimpinannya, Umar bin Khattab mengeluarkan perintah untuk mengumpulkan orang-orang yang mengerjakan shalat Tarawih dalam berjemaah dan menunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imam. Ini merupakan awal munculnya shalat Tarawih dengan jumlah rakaat tertentu.
Seiring berjalannya waktu, jumlah rakaat dalam shalat Tarawih mengalami perubahan dan variasi. Awalnya, shalat Tarawih dilaksanakan dengan jumlah rakaat yang sama dengan shalat malam pada umumnya. Namun, kemudian muncul perbedaan pendapat tentang jumlah rakaat yang sebaiknya dilakukan.
1.1. Perbedaan Pendapat tentang Jumlah Rakaat
Ada perbedaan pendapat di antara ulama mengenai jumlah rakaat dalam shalat Tarawih. Beberapa ulama berpendapat bahwa jumlah rakaat yang sebaiknya dilakukan adalah 8 rakaat, sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa sebaiknya dilakukan 20 rakaat.
Yang mempercayai pelaksanaan shalat Tarawih dengan 8 rakaat mengacu pada hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melaksanakan shalat malam dengan 8 rakaat. Mereka berargumen bahwa shalat Tarawih merupakan bentuk pelaksanaan sunnah Rasulullah SAW yang tidak perlu dirubah atau ditambah.
Sedangkan yang mempercayai pelaksanaan shalat Tarawih dengan 20 rakaat berpendapat bahwa jumlah rakaat tersebut telah dilakukan oleh Umar bin Khattab, sehingga merupakan praktik yang dianjurkan. Mereka berargumen bahwa jumlah rakaat yang lebih banyak memberikan kesempatan bagi umat Muslim untuk memperbanyak membaca Al-Quran dalam shalat.
Perbedaan pendapat ini tidak menimbulkan perselisihan yang serius di antara umat Muslim, karena keduanya bersumber dari sunnah dan praktik terbaik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Sehingga, terdapat masjid-masjid yang melaksanakan shalat Tarawih dengan 8 rakaat dan ada juga yang melaksanakan dengan 20 rakaat. Yang penting adalah niat dan tujuan hati dalam melaksanakan ibadah ini.
2. Penyebaran Shalat Tarawih
Shalat Tarawih dengan jumlah rakaat tertentu kemudian menyebar ke berbagai daerah di dunia Islam. Melalui para sahabat dan tabi’in, praktik ibadah ini dikenalkan kepada umat Muslim di berbagai wilayah.
Di beberapa daerah, shalat Tarawih dengan 8 rakaat lebih umum dilakukan, seperti di Mekkah dan Madinah. Sementara itu, di daerah lainnya, umat Muslim lebih cenderung melaksanakan shalat Tarawih dengan 20 rakaat, seperti di Mesir dan Suriah.
Penyebaran shalat Tarawih ini terjadi karena adanya peran penting para ulama dan pemimpin agama dalam memberikan pedoman kepada umat Muslim. Mereka memberikan penjelasan tentang tata cara melaksanakan shalat Tarawih serta menjelaskan perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaat yang sebaiknya dilakukan.
Seiring berjalannya waktu, shalat Tarawih dengan 8 rakaat dan 20 rakaat menjadi praktik yang umum dilakukan pada bulan Ramadan di seluruh dunia Islam. Namun, di beberapa tempat, seperti Indonesia, terdapat juga variasi lainnya, seperti shalat Tarawih dengan 12 rakaat atau 36 rakaat.
Perbedaan ini menunjukkan kekayaan dan keragaman umat Muslim dalam melaksanakan ibadah, serta tetap menjaga cinta dan rasa saling menghormati antar sesama umat Muslim.
2.1. Perbedaan Pelaksanaan Shalat Tarawih di Indonesia
Di Indonesia, umat Muslim memiliki variasi pelaksanaan shalat Tarawih yang cukup unik. Selain shalat Tarawih dengan 8 dan 20 rakaat, terdapat juga praktik shalat Tarawih dengan 12 rakaat atau bahkan 36 rakaat.
Hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh dari berbagai madzhab yang ada di Indonesia. Madzhab Syafi’i, Hanafi, dan lain-lain memiliki pandangan yang berbeda mengenai jumlah rakaat dalam shalat Tarawih.
Sehingga, masyarakat Indonesia memiliki kebebasan dalam memilih jumlah rakaat yang akan dilakukan saat melaksanakan shalat Tarawih. Ini menjadi contoh harmoni dan toleransi dalam beragama di Indonesia.
Shalat Tarawih dengan jumlah rakaat tertentu tidak mengubah esensi ibadah tersebut, yaitu sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT dan memperbanyak membaca Al-Quran pada bulan Ramadan.
Oleh karena itu, umat Muslim di Indonesia dapat melaksanakan shalat Tarawih dengan pilihan jumlah rakaat yang sesuai dengan keyakinan dan tuntunan mereka.
3. FAQ tentang Shalat Tarawih
Pertanyaan | Jawaban |
---|---|
Apakah shalat Tarawih hanya dilakukan di bulan Ramadan? | Ya, shalat Tarawih merupakan ibadah yang dilakukan khusus pada bulan Ramadan. |
Bolehkah melaksanakan shalat Tarawih sendiri di rumah? | Shalat Tarawih sebaiknya dilakukan secara berjemaah di masjid atau musala. Namun, jika tidak memungkinkan atau ada alasan tertentu, melaksanakan shalat Tarawih sendiri di rumah juga diperbolehkan. |
Apakah boleh berjamaah dengan melibatkan keluarga di rumah? | Ya, boleh. Jika di rumah terdapat beberapa anggota keluarga yang mampu melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah, maka sangat dianjurkan untuk melakukannya. |
Bagaimana tata cara melaksanakan shalat Tarawih? | Tata cara melaksanakan shalat Tarawih sama dengan tata cara shalat pada umumnya. Yang membedakan adalah jumlah rakaat yang dilakukan sesuai dengan keyakinan dan tuntunan yang diikuti. |
Apakah shalat Tarawih dapat menggugurkan kewajiban shalat malam? | Tidak. Shalat Tarawih merupakan sunnah muakkadah yang dianjurkan, sedangkan shalat malam termasuk dalam sunnah ghairu muakkadah. Jadi, disarankan melaksanakan keduanya secara terpisah. |